Sebagian orang yang memperoleh
sedikit dari ilmu fiqih terkadang merasa lebih pandai daripada ulama Ahli
Sunnah dan orang-orang yang mengikuti As-Sunnah dengan mengatakan kepada mereka
sebagai pengingkaran atas teguran mereka yang mengatakan bahwa amal yang baru
yang dia lakukan itu bid’ah seraya dia menyatakan bahwa “asal segala sesuatu
adalah diperbolehkan”.
Ungkapan seperti itu tidak keluar dari mereka
melainkan karena kebodohannya tentang kaidah pembedaan antara adat dan ibadah.
Sesungguhnya kaidah terseubut berkisar pada dua hadits :
1.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Barangsiapa melakukan hal yang baru
dalam urusan (agama) kami ini yang tidak ada di dalamnya, maka amal itu
tertolak”.
Hadits ini telah disebutkan
takhrij dan syarahnya secara panjang lebar.
2.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
peristiwa penyilangan serbuk sari kurma yang sangat masyhur.
“Artinya : Kamu lebih mengetahui tentang berbagai
urusan duniamu”
Hadits ini terdapat dalam Shahih
Muslim (1366) dimasukkan ke dalam bab dengan judul : “Bab Wajib Mengikuti
Perkataan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Dalam Masalah Syari’at Dan Yang
Disebutkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Tentang Kehidupan Dunia
Berdasarkan Pendapat”, dan ini merupakan penyusunan bab yang sangat cermat
Atas dasar ini maka sesungguhnya
penghalalan dan pengharaman, penentuan syari’at, bentuk-bentuk ibadah dan
penjelasan jumlah, cara dan waktu-waktunya, serta meletakkan kaidah-kaidah umum
dalam muamalah adalah hanya hak Allah dan Rasul-Nya dan tidak ada hak bagi ulil
amri di dalamnya. Sedangkan kita dan mereka dalam hal tersebut adalah sama.
Maka kita tidak boleh merujuk kepada mereka jika terjadi perselisihan. Tetapi
kita harus mengembalikan semua itu kepada Allah dan Rasul-Nya.
Adapun tentang bentuk-bentuk
urusan dunia maka mereka lebih mengetahui daripada kita. Seperti para ahli
pertanian lebih mengetahui tentang apa yang lebih maslahat dalam mengembangkan
pertanian. Maka jika mereka mengeluarkan keputusan yang berkaitan dengan
pertanian, umat wajib mentaatinya dalam hal tersebut. Para ahli perdagangan
ditaati dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan perdagangan.
Sesungguhnya mengembalikan sesuatu
kepada orang-orang yang berwenang dalam kemaslahatan umum adalah seperti
merujuk kepada dokter dalam mengetahui makanan yang berbahaya untuk dihindari
dan yang bermanfaat darinya untuk dijadikan santapan. Ini tidak berarti bahwa
dokter adalah yang menghalalkan makanan yang manfaat atau mengharamkan makanan
yang mudharat. Tetapi sesungguhnya dokter hanya sebatas sebagai pembimbing
sedang yang menghalalkan dan mengharamkan adalah yang menentukan syari’at
(Allah dan Rsul-Nya), firmanNya.
“Artinya : Dan menghalalkan bagi mereka segala hal
yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala hal yang buruk” [Al-Araf : 157].
Dengan demikian anda mengetahui
bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat dan tertolak. Adapun bid’ah dalam
masalah dunia maka tiada larangan di dalamnya selama tidak bertentangan dengan
landasan yang telah ditetapkan dalam agama. Jadi, Allah membolehkan anda
membuat apa yang anda mau dalam urusan dunia dan cara berproduksi yang anda
mau. Tetapi anda harus memperhatikan kaidah keadilan dan menangkal
bentuk-bentuk mafsadah serta mendatangkan bentuk-bentuk maslahat.”
Adapun kaidah dalam hal ini
menurut ulama sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah adalah : “Sesungguhnya
amal-amal manusia terbagi kepada :
1.
Ibadah yang mereka jadikan sebagai agama, yang
bermanfaat bagi mereka di akhirat atau bermanfaat di dunia dan akhirat.
2.
Adat yang bermanfaat dalam kehidupan mereka.
Adapun kaidah dalam hukum adalah
asal dalam bentuk-bentuk ibadah tidak disyari’atkan kecuali apa yang telah
disyariatkan Allah. Sedangkan hukum asal dalam adat adalah tidak dilarang kecuali
apa yang dilarang Allah.”
Dari keterangan diatas tampak
dengan jelas bahwa tidak ada bid’ah dalam masalah adat, produksi dan segala
sarana kehidupan umum”.
Hal tersebut sebagaimana dikatakan
oleh Syaikh Mahmud Syaltut dalam kitabnya yang sangat bagus, Al-Bid’ah Asabbuha
wa Madharruha (hal. 12 –dengan tahqiq saya), dan saya telah mengomentarinya
sebagai berikut, “Hal-hal tersebut tiada kaitannya dengan hakikat ibadah.
Tetapi hal tersebut harus diperhatikan dari sisi dasarnya, apakah dia
bertentangan dengan hukum-hukum syari’at ataukah masuk di dalamnya”.
Di sini terdapat keterangan yang
sangat cermat yang diisyaratkan oleh Imam Syathibi dalam kajian yang panjang
dalam Al-I’tisham (II/73-98) yang pada bagian akhirnya disebutkan,
“Sesungguhnya hal-hal yang berkaitan dengan adat jika dilihat dari sisi
adatnya, maka tidak ada bid’ah di dalamnya. Tetapi jika adat dijadikan sebagai
ibadah atau diletakkan pada tempat ibadah maka ia menjadi bid’ah”.
Dengan demikian maka “tidak setiap
yang belum ada pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga belum ada
pada masa Khulafa Rasyidin dinamakan bid’ah. Sebab setiap ilmu yang baru dan
bermanfaat bagi manusia wajib dipelajari oleh sebagian kaum muslimin agar
menjadi kekuatan mereka dan dapat meningkatkan eksistensi umat Islam.
Sesungguhnya bid’ah adalah sesuatu
yang baru dibuat oleh manusia dalam bentuk-bentuk ibadah saja. Sedangkan yang
bukan dalam masalah ibadah dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syari’at
maka bukan bid’ah sama sekali”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
Al-Qawa’id An-Nuraniyah Al-Fiqhiyah (hal. 22) berkata, “ Adapun adat adalah
sesuatu yang bisa dilakukan manusia dalam urusan dunia yang berkaitan dengan
kebutuhan mereka, dan hukum asal pada masalah tersebut adalah tidak terlarang.
Maka tidak boleh ada yang dilarang kecuali apa yang dilarang Allah. Karena
sesungguhnya memerintah dan melarang adalah hak prerogratif Allah. Maka ibadah
harus berdasarkan perintah. Lalu bagaimana sesuatu yang tidak diperintahkan di
hukumi sebagai hal yang dilarang?
Oleh karena itu, Imam Ahmad dan
ulama fiqh ahli hadits lainnya mengatakan, bahwa hukum asal dalam ibadah adalah
tauqifi (berdasarkan dalil). Maka, ibadah tidak disyariatkan kecuali dengan
ketentuan Allah, sedang jika tidak ada ketentuan dari-Nya maka pelakunya
termasuk orang dalam firman Allah.
“Artinya : Apakah mereka mempunyai para sekutu yang
mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak dizinkan Allah?” [Asy-Syuraa : 21]
Sedangkan hukum asal dalam masalah
adat adalah dimaafkan (boleh). Maka, tidak boleh dilarang kecuali yang
diharamkan Allah.
“Artinya : Katakanlah. Terangkanlah kepadaku
tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya
haram dan (sebagiannya) halal. ‘Katakanlah, ‘Apakah Allah telah memberikan izin
kepadamu (tentang ini) ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” [Yunus
: 59]
Ini adalah kaidah besar yang sangat berguna. Yusuf
Al-Qaradhawi dalam Al-Halal wal Haram fil Islam (hal.21)berkata, “Adapun adat
dan muamalah, maka bukan Allah pencetusnya, tetapi manusialah yang mencetuskan
dan berinteraksi dengannya, sedang Allah datang membetulkan, meluruskan dan
membina serta menetapkannya pada suatu waktu dalam hal-hal yang tidak mendung
mafsadat dan mudharat”.
Dengan mengetahui kaidah ini, maka
akan tampak cara menetapkan hukum-hukum terhadap berbagai kejadian baru,
sehingga tidak akan berbaur antara adat dan ibadah dan tidak ada kesamaran
bid’ah dengan penemuan-penemuan baru pada masa sekarang. Dimana masing-masing
mempunyai bentuk sendiri-sendiri dan masing-masing ada hukumnya secara mandiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar